Senin, 27 Februari 2017

Sayur tanpa garam

Pertama, ini bukan lagu dangdutnya mba inul.

Ini kisah seseorang yg kehilangan kemampuannya karena diserang penyakit kronis : stroke.

Berbicara. Separuh hidupnya ia habiskan dalam meniti karier. Sebagai seorang yg bekerja di radio, berbicara adalah sebuah keutamaan. Separuh hidup yang lain dihabiskan dengan bersenang senang menikmati hasil pekerjaannya sembari mengurus keluarga. Ayah saya seorang pembicara dan negosiator terbaik. Termasuk penghasut terbaik. Dia, bahkan bisa membuat orang merubah keputusan karena ketajaman kata-katanya. Orang bukannya segan tapi jadi males. Karena merasa pasti kalah kalau berdebat dengannya karena kata-katanya menusuk. Tapi bagi saya hal itu terbaik karena kami hidup dilingkungan orang orang yg berani berbicara secara gamblang.

58 tahun hidup dengan rokok membuatnya berpikir tidak mungkin dia akan lepas dari zat adiktif dalam rokok. Dan jarang merasa sakit karena hal ini(merokok) sudah dilakukan sejak ia kecil. Makhluk dzolim. Benar, dia mendapar serangan stroke pada umurnya 55 tahun. Hingga saat ini ia telah menerima 2 kali serangan itu. Dan masih mengkonsumsi rokok. Tidak bersyukur? Tentu saja.

Dia adalah orang yg egois namun sangat tanggung jawab. Kebanyakan hasil pekerjaannya dia berikan pada keluarga. Ayah saya org yg senang menolong. Bahkan dgn org asing yg baru dikenalnya.

Kesulitan bicara akibat stroke ini membuat hidupnya hambar. Hanya saya dan keluarga yg paham maksud bicaranya. Dia jadi semakin mudah marah, memukul dan bersedih hingga menangis. Dahulu ia senanf bercerita dengan anak kecil. Bahkan ia merawat sepupu sepupu saya yg mengalami gangguan bicara dari lahir dengan sabar. Kadang kala ia merasa sudah kehabisan daya, tidak memiliki kemampuan apapun. Karena berbicara memang yg kemampuan terbaiknya.

Kemudian menurut anda, Apa jadinya jika passion yg selama ini kita banggakan kemudian direnggut secara perlahan oleh Yang Maha Kuasa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar